Minggu, 29 Agustus 2010

Catatan Tentang Sokola Rimba: Sekolahnya Orang Rimba

cover depan Sokola Rimba
cover belakang Sokola Rimba




















Spoiler Alert!

Membicarakan salah satu dari jutaan buku yang menarik dengan isi yang dapat menginspirasi hidup kita dengan cara yang menyentuh, atau dalam hal ini saya memakai kata "menohok" hati nurani kita yang paling dalam adalah buku ini, Sokola Rimba karya seorang wanita yang inspiratif, Butet Manurung. Buku ini diterbitkan oleh INSISTPress Yogyakarta. Oke, saya tidak akan membicarakan hal-hal yang rumit. Mungkin artikel ini mengandung spoiler yang akan mengurangi kepuasan teman-teman pembaca yang sama sekali belum pernah membaca buku ini. Jadi kalau tidak ingin penasaran, segera beli atau pinjam buku ini untuk mendapatkan kepuasan membaca dan merenungi isinya.

Buku ini menceritakan perjalanan hidup seorang wanita tangguh bernama Butet Manurung yang bernama asli Saur Marlina Manurung sebagai fasilitator pendidikan yang berkeliling ke seluruh pelosok bumi Indonesia untuk mengabdikan diri sepenuhnya pada dunia pendidikan. Dia sering berpindah-pindah tempat untuk mengajar. Pengalaman hidupnya ini setiap hari ditulisnya dalam buku harian yang kemudian dibukukan. Sokola Rimba ini merupakan pengalamannya ketika ia menjadi fasilitator pendidikan di Jambi, namun lebih tepatnya untuk mengajar di pedalaman Jambi bersama suku Anak Dalam atau biasa disebut sebagi Orang Rimba. Sokola sendiri dalam bahasa rimba artinya sekolah.

Jalan cerita yang digunakan cukup menarik, dengan bahasa yang enak dan menyentuh. Inti utama dari kisah perjalanan Butet adalah bahwa masyarakat yang benar-benar mengerti akan kondisi alam yang berhak disebut sebagai pecinta alam sejati adalah orang-orang seperti Orang Rimba ini. Berawal dengan minimnya ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh Orang Rimba membuat mereka lebih mudah "dibodohi" oleh Orang Luar (sebutan Orang Rimba untuk orang-orang yang berasal dari luar daerah) dalam berbagai macam hal. Misalnya dalam jual beli, kesepakatan dengan para penebang hutan liar, dan masih banyak lagi. Dengan pendidikan dasar seperti membaca, menulis, dan berhitung membuat Orang Rimba lebih "melek" dengan apa yang tengah terjadi di sekitar mereka hingga pada suatu saat para Orang Rimba ini dapat mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran mereka dan bagaimana mereka mengatasi sendiri masalah lingkungan mereka.

Yang membuat "menohok" hati dan pemikiran saya adalah pernyataan dari seorang bocah bernama Peniti Benang, "Menjaga hutan memang sulit sekali. Orang pemerintah saja tidak bisa, apalagi saya yang baru bisa baca tulis dan hitung...". Juga sebuah surat yang ditulis oleh salah satu siswa Butet yang bernama Berapit, yang berisi pengaduannya tentang ladang orang desa yang terus merangsek masuk ke dalam hutan dengan buldoser.

Sungguh, sebuah perjalanan hidup yang menarik dengan pengabdian tiada tara seorang Butet beserta beberapa orang rekannya. Juga sebuah "penohokan" kepada kita semua masyarakat Indonesia yang mengaku cinta alam tapi apa yang sudah kita perbuat selama ini? Belum ada apa-apanya. Lebih lanjut lagi "penohokan" kepada pemerintah yang kurang tanggap terhadap masalah-masalah yang terjadi di pedalaman. Kita bisa belajar dari Orang Rimba yang bahkan baru bisa baca tulis dan berhitung. Ingat, belajar bisa dari mana saja bukan? Semoga hidup kita dapat bermanfaat bagi orang lain, juga lingkungan kita.

gambar: dokumentasi pribadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar